Monday 19 December 2016

Puncak Monumen Nasional


Puncak monumen terdapat cawan yang diatasnya terdapat api yang terbuat dari perunggu dengan ketinggian 17 meter dengan diameter 6 meter dan memiliki berat 14,5 ton. Api perunggu ini dilapisi oleh emas yang memiliki berat 50 kilogram.

Api yang berada di puncak Monas tersebut menjadi lambang semangat perjuangan bangsa Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan. Awalnya api tersebut dilapisi emas seberat 35 kilogram, namun saat perayaan setengah abad kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lapisan emas tersebut dilapis ulang hinga mencapai berat 50 kilogram. Emas yang berada di api Monas tersebut merupakan sebuah sumbangan dari Teuku Markam, yang merupakan seorang pengusaha asal Aceh yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia pada saat itu.

Wednesday 14 December 2016

Masjid Istiqlal

W3.CSS

Sekitar 1950 hingga akhir 1960-an, Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng dikenal sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik di taman tersebut dipenuhi lumut dan rumput ilalang disana-sini. Kemudian pada 1960, di tempat yang sama, ribuan orang yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat biasa, pegawai negeri, swasta, alim ulama dan ABRI bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng penjajah itu.

Setahun kemudian, tepatnya 24 Agustus 1961, masih dalam bulan yang sama perayaan kemerdekaan RI, menjadi tanggal yang paling bersejarah bagi umat muslimin di Jakarta khususnya, dan Indonesia umumnya. Untuk pertama kalinya, di bekas Taman Wilhelmina, kota Jakarta memiliki sebuah masjid besar. Sebuah masjid yang dimaksudkan sebagai simbol kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Padanan katanya dalam bahasa Arab berarti merdeka dan disepakati diberi nama Istiqlal sehingga jadilah Masjid Istiqlal namanya.

Tanggal yang bertepatan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW itu, dipilih sebagai momen pemancangan tiang pertama oleh Presiden Soekarno yang ketika itu langsung bertindak sebagai Kepala Bidang Teknik.

Tuesday 13 December 2016

Cathedral Church

1 / 4
Cathedral Architecture
2 / 4
Cathedral Interior
3 / 4
Cathedral Interior
4 / 4
Cathedral Interior


Pembangunan Gereja Katedral dimulai ketika Paus Pius VII mengangkat pastor Nelissen sebagi prefek apostik Hindia Belanda pada 1807. Saat itulah dimulai penyebaran misi dan pembangunan gereja katolik di kawasan nusantara, termasuk di Jakarta.

Tahun 1808, pastor Nelissen bersama pastor Prinsen tiba di Batavia via Pelabuhan Pasar Ikan. Kemudian mereka bertemu dengan Dokter FCH Assmus untuk membicarakan pendirian gereja katolik di Batavia. Di tahun yang sama, Pastor Nelissen mendapat pinjaman sebuah rumah bambu yang berlokasi di pojok barat daya Buffelvelt (sekarang menjadi gedung departemen agama) untuk digunakan sebagai gereja, dan menggunakan rumah tinggal perwira sebagai rumah pastoral. Semua bangunan tersebut dipinjamkan dari pemerintah.

Setahun kemudian, umat Katolik mendapat hibah sebidang tanah yang berlokasi di sebelah barat laut Lapangan Banteng dekat pintu air sebagai pengganti rumah bambu. Namun karena ketiadaan dana, pembangunan gereja yang sudah dicanangkan urung dilaksanakan. Pihak gereja pun memohon kepada pemerintah Batavia untuk memberikan sebuah bangunan kecil yang berlokasi di jalan Kenanga di kawasan Senen untuk dijadikan gereja Katolik. Bangunan tersebut milik Gubernemen yang sudah dibangun sejak 1770 oleh Cornelis Casteleijn di bawah pengawasan Gurbernur Van Der Parra.

Berdirinya gereja katolik ini tidak berlangsung lama, pada 1826 terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan banyak bangunan di kawasan Senen, termasuk bangunan pastoral. Pasca kebakaran, bangunan gereja yang rusak tidak direnovasi, mengingat tanah tersebut bukanlah tanah milik gereja.

Lalu umat Katolik akhirnya memperoleh tempat yang baru untuk dijadikan gereja. Tempat tersebut adalah rumah dinas para gurbernur jenderal yang telah kosong. Atas perantara Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies, umat Katolik diberi bangunan beserta tanahnya seluas 34x15 meter persegi dengan beberapa persetujuan. Isi persetujuan tersebut atara lain, pihak gereja diberikan bangunan beserta tanahnya dengan membayar 20 ribu gulden. Kemudian pihak gereja berhak memperoleh 10 ribu gulden untuk perbaikan gereja. Selain itu, pihak gereja juga diberi pinjaman uang senilai 8 gulden yang harus dilunasi dalam jangka waktu setahun.

Cobaan ternyata tidak hanya sampai disitu. Pada 1890 bangunan Gereja Katedral sempat ambruk, kejadian tersebut terjadi tiga hari setelah gereja merayakan paskah. Satu tahun setelah itu, bangunan gereja direnovasi dalam dua tahap, dan selesai pengerjaannya dalam kurun waktu 10 tahun setelah sempat terhambat pembangunannya. Kini, bangunan gereja yang berlokasi di Jalan Katedral, Pasar Baru Sawah Besar, Jakarta Pusat, ini sejak 1993 dinaikkan statusnya menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi pemerintah.

source : www.indonesiakaya.com

Toko Merah


Toko Merah Building
Located at Jalan Kali Besar Barat 17, along the once busy Ciliwung river, in the subdistrict of Roa Malaka, Toko Merah was originally the home of Willem Baron van Imhoff, who later became Governor General of the East India Company in 1743-1750.

In its long history, the building was converted into a maritime academy from 1743-1755, the first and most prestigious maritime academy in the Far East at the time, then it became a Guest House for high ranking officials (Heerenlogement) from 1787 – 1808.

William Bligh, commander of the Bounty, whose deputy staged a mutiny on board ship on 28 April 1789 was once a guest here. This mutiny was made famous through the film Mutiny on the Bounty, starring Anthony Hopkins as Bligh and Mel Gibson as deputy commander Christian Fletcher.

Toko Merah Interior
In 1851 the building was bought by a Chinese trader who painted the brick walls completely red. Since then it became known as the Red Shop or Toko Merah. The red color dominates both its exterior as well as its interior.

During this period, the building became the center of slave trade in this Dutch colony. Traces from this period in history can be seen in the names of surrounding districts, such as Manggarai, for example, which was the village for slaves from Flores, Kampung Bali for those from Bali and Kampung Ambon from Ambon in the Moluccas, and others.
Toko Merah Interior
In the 18th century, ships could sail into the Ciliwung at Kali Besar (meaning the Large Canal), and dock right in front of the row of shops here, loading and unloading their precious ware. This area was then a “Central Business District” of the time, with busy traffic on land as well as on the river. Nowadays, though, with the silting of the river, no boats can enter the Kali Besar although on land traffic remains heavy.

Toko Merah is built in 18th century Baroque architecture. Its ornamentation is a mix of classic European and Chinese décor, where its Baroque staircase is most impressive.

Friday 9 December 2016

Tanjidor

Tanjidor muncul pada abad ke-18, yang ketika itu dimainkan untuk mengiringi perhelatan atau mengarak pengantin. Namun akhir-akhir ini musik tanjidor sering ditampilkan untuk menyambut tamu agung. Merupakan suatu ansambel musik yang namanya lahir pada masa penjajahan Hindia Belanda di Betawi (Jakarta). Kata "tanjidor" berasal dari kata dalam bahasa Portugis tangedor, yang berarti "alat-alat musik berdawai (stringed instruments)". Tetapi dalam kenyataannya, nama Tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari Portugis itu. Namun yang masih sama adalah sistem musik (tonesystem) dari tangedor, yakni sistem diatonik atau duabelas nada berjarak sama rata (twelve equally spaced tones).

Pemain-pemainnya terdiri dan 7 sampai 10 orang. Para pemain Tanjidor kebanyakan berasal dari desa-desa di luar Kota Jakarta, seperti di daerah Tangerang, Indramayu dll. Dalam membawakannya, mereka tidak dapat membaca not balok maupun not angka, dan lagu-lagunya tidak pula mereka ketahui dan mana asal-usulnya. Namun semua diterimanya secara aural dari orang-orang terdahulu. Ada kemungkinan bahwa orang-orang itu merupakan bekas-bekas serdadu Hindia Belanda, dan bagian musik. Dengan demikian peralatan musik Tanjidor yang ditemui kemudian tidak ada yang masih baru, kebanyakan semuanya sudah bertambalan pateri dan kuning, karena proses oksidasi.

Pada zaman dahulu dikala musim mengerjakan sawah, mereka menggantungkan alat-alat musik Tanjidor di rumahnya begitusaja pada dinding gedeg atau papan, tanpa kotak pelindung. Setelah panen selesai, barulah kelompok pemusik tersebut berkutat kembali dengan alat-alat Tanjidor mereka, untuk kemudian menunjukkan kebolehannya bermusik dengan berkunjung dari rumah ke rumah, dari restoran ke restoran dalam Kota Jakarta, Cirebon, melakukan pekerjaannya yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ngamen atau mengamen.

Monday 5 December 2016

Menara Syahbandar (Syahbandar Tower)





Menara Syahbandar adalah sebuah menara peninggalan kolonial yang dibangun pada tahun 1839 sebagai bagian dari benteng, kemudian berfungsi sebagai menara pertahanan, dan lambat lain menjadi menara pemantau. Menara Syahbandar yang tarletak sekitar 50 meter sebelum Museum Bahari ini merupakan salah satu tempat favorit para wisatawan, balk domestik maupun mancanegara. Menara Syahbandar (sebelumnya bernama de Uitkijk) pernah berfungsi sebagai menara pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk Kota Batavia dan juga berfungsi sebagai kantor pemungut cukai bagi barang-barang yang dibongkar dipelabuhan Sunda Kelapa.





Di dalam Menara Syahbandar Jakarta terdapat lempengan batu bertulis huruf Tiongkok yang artinya Batas Titik, sebagai titik 0 Kota Batavia. Di luar menara ada tujuh meriam, tiga mengarah ke Pasar Ikan. Dulu bangunan ini pernah sebagai Kantor Komando Sektor Kepolisian (Komseko) dan juga pernah sebagai Kantor Museum Bahari.


Menara Syahbandar Jakarta memiliki tiga ruangan, yaitu di lantai dasar, di bagian tengah berukuran 6×7 meter, dan paling atas yang berfungsi sebagai ruang pengamatan dengan empat jendela. Di bawah lantai dasar, terdapat ruangan yang dulu berfungsi sebagai tempat untuk mengurung awak kapal yang melanggar peraturan pelabuhan.

Pada 1926 – 1967, Menara Syahbandar Jakarta pernah dipakai sebagai Kantor Syahbandar Pelabuhan Pasar Ikan, yang kemudian pindah ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai bagian dari Program Revitalisasi Kota Tua yang dimulai tahun 2006, Pemprov DKI Jakarta melakukan pekerjaan perbaikan terhadap Menara Syahbandar Jakarta yang dilakukan pada April 2007.

Museum Bahari (Maritime Museum)

Photo by Stewart Leiwakabessy

Museum Bahari Indonesia terletak di Jalan Pasar Ikan 1, di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, di ujung utara Kota Jakarta. Gedung itu dibangun sebagai gudang penyimpanan rempah-rempah dan hasil bumi oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC), secara bertahap sejak 1652 hingga 1759.

Pada 1976, kompleks bangunan yang terdiri atas dua bagian, sisi barat yang disebut Gudang Barat (Westzijdsch Pakhueizen) dan Gudang Timur (Oosjzijdsch Pakhuizen) itu, diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kompleks itu diresmikan sebagai Museum Bahari pada 7 Juli 1977.

Di museum itu dipamerkan berbagai benda peninggalan VOC, foto-foto, lukisan, alat navigasi, serta benda lainnya, yang berhubungan dengan kebaharian Indonesia. Di sela-sela itu, bisa disimak model atau replika perahu mayang, perahu lancang kuning, perahu pinisi, dan kapal modern.

Pada Bangunan C, yang terletak di belakang, bisa ditemui berbagai model perahu tradisional dalam ukuran asli. Paling menarik adalah perahu Papua, yang dibuat dari kayu utuh.

Di tempat itu juga disimpan Cadik Nusantara, perahu bercadik yang dipakai Pemuda Pelopor Effendy Soleman berlayar seorang diri menempuh jarak Jakarta - Brunei Darussalam pergi-pulang. Museum Bahari menggambarkan tradisi melaut nenek moyang bangsa Indonesia dan juga pentingnya laut bagi perekonomian Indonesia dari dulu hingga kini.

Thursday 1 December 2016

Galangan Kapal VOC

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Salah satu sisi bagian luar bangunan gedung Galangan VOC, di Jalan Kakap, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (30/1/2015). Gedung ini pada masa lampau pernah digunakan sebagai salah satu titik aktivitas perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
SUATU hari di tahun 1997, Susilowati Then (66) diminta suaminya, Gustimego, membeli gudang dan tanah seluas 5.000 meter persegi. Menurut rencana, gudang yang rusak dan hampir ambruk itu akan dirobohkan, dan di atas lahan tersebut akan dibangun deretan rumah toko alias ruko.

"Kami membeli gudang tersebut dari pemiliknya yang bermarga Panggabean. Selama itu mereka menggunakan gudang tersebut sebagai gudang yang penuh dengan drum-drum bahan kimia,” tutur Susilowati saat ditemui pada Sabtu (10/1/2015).

Tak berapa lama setelah gudang dan lahan itu dibeli, Susilowati diberitahu petugas Suku Dinas Pariwisata Jakarta Utara yang mengatakan bahwa bangunan yang dibeli Susilowati adalah bangunan cagar budaya yang tak lain adalah Galangan Kapal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Sesuai ketentuan perundangan, Susilowati tidak boleh merobohkan bangunan tersebut.

Susilowati taat. Ia pun hanya membersihkan gudang dan menambal tembok di sana-sini seadanya. Selang tak berapa lama, Wali Kota Jakarta Utara kala itu, Subagyo (1997-2002), mendesak Susilowati mengizinkan Festival Jakarta bisa digelar di galangan kapal tersebut. Menurut rencana, festival akan digelar pada Juli 1998.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Salah satu sisi bagian luar bangunan gedung Galangan VOC, di Jalan Kakap, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (30/1/2015). Gedung ini pada masa lampau pernah digunakan sebagai kantor pusat kegiatan perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Susilowati tak hanya mengizinkan festival digelar di sana, tetapi juga siap membiayai festival itu. Tidak ingin mengecewakan pengunjung acara, ia pun berniat merestorasi bangunan. ”Saya masih ingat, untuk membersihkan barang bekas, puing, dan sampah, saya membutuhkan enam truk yang mondar-mandir hampir sepekan,” kenangnya.

Ia lalu menyulap sebagian galangan kapal menjadi restoran dan galeri di lantai dua, serta kafe di lantai satu. ”Kala itu saya berpikir, momen Festival Jakarta bisa menjadi pembuka jalan memperkenalkan dan menghidupkan galangan kapal ini menjadi kawasan wisata,” tutur Susilowati.

Dengan rasa optimistis yang meluap, ibu lima anak dan 12 cucu ini pun menyiapkan 120 pekerja yang ia gaji dua bulan di muka. Namun, apa hendak dikata, Mei 1998 Jakarta dilanda amuk massa. Festival Jakarta pun urung digelar. Usaha Susilowati pun gulung tikar.

Meski demikian, Susilowati terus melanjutkan restorasi. ”Saya telanjur jatuh hati pada bangunan ini setelah enam bulan saya memilikinya,” katanya.

Kantor dagang

Adolf Heuken dan Grace Pamungkas dalam bukunya, Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000) menulis, bangunan milik Susilowati itu dibangun tahun 1628 sebagai kantor dagang VOC. Bangunan itu kemudian dijadikan gudang barang keperluan galangan kapal di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Salah satu sisi bagian dalam bangunan gedung Galangan VOC, di Jalan Kakap, Penjaringan, Jakarta Utara, Junat (30/1/2015). Gedung ini pada masa lampau pernah digunakan sebagai kantor pusat kegiatan perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Lama-lama, gudang ini pun menjadi galangan kapal bagi kapal-kapal kecil yang tak tertampung di Pulau Onrust.

”Perubahan lain terjadi saat galangan kapal ini terbakar tahun 1721. Sebelum terbakar lantai duanya rata, tanpa selasar. Setelah terbakar, dibangunlah selasar,” ucap arkeolog dan pengamat Kota Tua Jakarta itu.

Candrian, yang mendampingi Susilowati, menambahkan, tahun 1978 Gubernur DKI Ali Sadikin membangun saluran penghubung yang kini populer disebut sebagai Kali Pakin. Akibat pembangunan saluran itu, sebagian bangunan galangan dipangkas.

Kecintaan Susilowati pada cagar budaya lambat laun membuat ia jatuh cinta pula pada seni dan budaya yang berkembang di Jakarta pada abad ke-18. ”Saya ingin suatu hari Galangan Kapal VOC ini bisa menjadi serambi budaya bagi kesenian, tradisi, dan budaya yang berkembang di Jakarta pada abad ke-18,” tuturnya.

Kurang peduli

Yang masih menjadi kegundahan Susilowati adalah sampai hari ini Pemerintah Kota Jakarta Utara ataupun Pemprov DKI masih kurang peduli terhadap semua usahanya itu. Sejak galangan kapal menjadi miliknya dan selesai direstorasi, para petinggi DKI Jakarta datang silih berganti mengumbar janji hendak memperbaiki infrastruktur jalan dan penerangan, serta membuat rute kendaraan pariwisata.

Mereka juga mengumbar janji membantu meramaikan galangan kapal dengan bermacam kegiatan, serta akan ikut melestarikan cagar budaya tersebut. Namun, janji tinggal janji. Susilowati harus menanggung perawatan Galangan Kapal VOC miliknya sendirian.

KOMPAS/AGUS SUSANTO Tukang perahu menunggu warga yang menyeberang di Jalan Kakap, Jakarta Utara, Senin (21/1/2015). Banjir sudah lima hari menggenangi kawasan ini.
Saat ia merasa ditinggalkan, Susilowati sempat berpikir ingin menjual bangunan bersejarah itu dan bisa beristirahat bersama anak-cucunya.

”Ya buat apa saya setiap tahun harus mengeluarkan PBB senilai Rp 110 juta dan setiap bulan membayar listrik sampai Rp 20 juta kalau kurang bermanfaat bagi publik?” ujar Susilowati.

Ia mengaku tidak memiliki motif ekonomi lagi untuk menghidupkan galangan kapal miliknya. ”Saya sudah tua. Tidak lagi bermimpi banyak soal materi. Yang saya inginkan adalah keramaian budaya di sekitar galangan kapal ini,” ujarnya.

Galangan Kapal VOC tak bisa dipisahkan dengan sejumlah bangunan serta tempat cagar budaya di sekitarnya, yaitu Menara Syahbandar, Pasar Ikan Heksagon, Museum Bahari, serta Pelabuhan Sunda Kelapa. Sayang, sampai sekarang lima cagar budaya nan-eksotis dan menyimpan banyak cerita menarik itu, kurang terhubung satu sama lain oleh infrastruktur yang layak. Sepenggal riwayat kota ini telah dilupakan.... (WINDORO ADI)
Editor : I Made Asdhiana
Sumber: Kompas Cetak,