Friday, 27 January 2017

Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta


Bangunan Museum Seni Rupa dan Keramik dibangun pertama kali pada tahun 1870 oleh arsitek Jhe. W.H.F.H. van Raders pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Miyer untuk digunakan sebagai Rad van Justitie atau Kantor Pengadilan. Selanjutnya pada tahun 1949, digunakan oleh KNIL sebagai sarana Nederlansche Mission Militer (NMM) yang kemudian diserahkan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai gudang logistik.
Pada tahun 1970-1973, bangunan Museum Seni Rupa dan Keramik pernah dijadikan sebagai kantor Walikota Jakarta Barat, sedangkan tahun 1974, digunakan sebagai kantor Dinas Museum dan Sejarah. Pada tanggal 20 Agustus 1976, gedung ini diresmikan menjadi Balai Seni Rupa oleh Presiden Soeharto atas inisiatif Adam Malik. Pada tanggal 10 Juni 1977, sebagian gedung ini diresmikan sebagai Museum Keramik oleh Gubernur Ali Sadikin. Akhirnya, pada awal tahun 1990, Balai Seni Rupa dan Museum Keramik disatukan menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

Thursday, 26 January 2017

Museum Wayang Jakarta

W3.CSS

Menurut sumber yang kami dapatkan bahwa pada awalnya bangunan yang digunakan oleh museum ini bernama De Oude Hollandsche Kerk atau Gereja Lama Belanda dan konon ceritanaya gereja tersebut dibangun pertamakali pada tahun 1640. Kemudian pada Tahun 1732 sempat diperbaiki dan bergantilah namanya menjadi De Nieuwe Hollandse Kerk atau Gereja Baru Belanda, Bangunan ini bertahan hingga tahun 1808 kemudian hancur akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun yang sama. Nah di lokasi bekas reruntuhan itulah dibangun sebuah gedung yang kini disebut sebagai gedung museum wayang dan kemudian diresmikan pemakaiannya dan peruntukkannya sebagai museum pada tanggal 13 Agustus 1975.

Museum Sejarah Jakarta



Exterior Jakarta History Museum
Museum Sejarah Jakarta pada mulanya digunakan sebagai gedung Balaikota (Stadhuis). Gedung ini merupakan gedung Balaikota kedua yang dibangun pada masa pemerintahan VOC di Batavia.
Pada tanggal 27 April 1626, Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier (1623-1627) memutuskan untuk menbangun gedung balaikota yang baru ini kemudian direnovasi pada tanggal 25 Januari 1707 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn dan selesai direnovasi pada tanggal 10 Juli 1710 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck.

Selain sebagai Balaikota, gedung ini juga berfungsi sebagai Pengadilan, Kantor Catatan Sipil, tempat warga beribadah di hari Minggu, dan Dewan Kotapraja (College van Scheppen). Pada tahun 1925-1942 gedung ini juga dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 dipakai sebagai Markas Komando Militer Kota (KMK) I yang kemudian menjadi Kodim 0503 Jakarta Barat. Setelah itu pada tahun 1968 gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta dan kemudian dijadikan sebagai Museum pada tahun 1974.


Tuesday, 17 January 2017

Rumah Pitung



Sebuah tulisan di dalam Rumah Si Pitung menceritakan bahwa selama delapan tahun (1886 – 1894) Si Pitung telah meresahkan penguasa kolonial di Batavia, sehingga Snouck Hurgronje yang menjadi penasehat pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera mengecam keras Kepala Polisi Batavia Schout Hijne yang tak juga sanggup menangkap Si Pitung.

Hurgronje menganggap sangat keterlaluan bahwa orang Eropa seperti Hijne sampai pergi ke dukun untuk bisa menangkap Si Pitung. Kepala polisi juga dianggap sangat tidak terpelajar karena tidak mampu memperhitungkan bahwa Si Pitung bisa hilir mudik naik kereta api. Hurgronje tambah gusar karena Si Pitung lolos dari penjara Meester Cornelis saat tertangkap pada 1891. Bahkan Si Pitung membunuh Demang Kebayoran, kaki tangan Belanda yang menjadi musuh para petani. Demang itu juga yang menjebloskan Ji’ih, saudara misan Pitung, ke penjara dan kemudian tewas menjalani hukuman mati.
Artikel : jakartapedia.bpadjakarta.net

Museum Nasional



sebuah patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada 1871. Kadang kala disebut juga "Gedung Arca" karena di dalam gedung memang banyak tersimpan berbagai jenis dan bentuk arca yang berasal dari berbagai periode sejarah.

Pada 1923 perkumpulan ini memperoleh gelar "koninklijk" karena jasanya dalam bidang ilmiah dan proyek pemerintah sehingga lengkapnya menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (KBG). Pada 26 Januari 1950 KBG diubah namanya menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Perubahan ini disesuaikan dengan kondisi waktu itu, sebagaimana tercermin dalam semboyan barunya: "memajukan ilmu-ilmu kebudayaan yang berfaedah untuk meningkatkan pengetahuan tentang kepulauan Indonesia dan negeri-negeri sekitarnya".

Mengingat pentingnya museum ini bagi bangsa Indonesia maka pada 17 September 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi Museum Pusat. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No.092/0/1979 tertanggal 28 Mei 1979, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional.

Monday, 19 December 2016

Puncak Monumen Nasional


Puncak monumen terdapat cawan yang diatasnya terdapat api yang terbuat dari perunggu dengan ketinggian 17 meter dengan diameter 6 meter dan memiliki berat 14,5 ton. Api perunggu ini dilapisi oleh emas yang memiliki berat 50 kilogram.

Api yang berada di puncak Monas tersebut menjadi lambang semangat perjuangan bangsa Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan. Awalnya api tersebut dilapisi emas seberat 35 kilogram, namun saat perayaan setengah abad kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lapisan emas tersebut dilapis ulang hinga mencapai berat 50 kilogram. Emas yang berada di api Monas tersebut merupakan sebuah sumbangan dari Teuku Markam, yang merupakan seorang pengusaha asal Aceh yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia pada saat itu.

Wednesday, 14 December 2016

Masjid Istiqlal

W3.CSS

Sekitar 1950 hingga akhir 1960-an, Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng dikenal sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik di taman tersebut dipenuhi lumut dan rumput ilalang disana-sini. Kemudian pada 1960, di tempat yang sama, ribuan orang yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat biasa, pegawai negeri, swasta, alim ulama dan ABRI bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng penjajah itu.

Setahun kemudian, tepatnya 24 Agustus 1961, masih dalam bulan yang sama perayaan kemerdekaan RI, menjadi tanggal yang paling bersejarah bagi umat muslimin di Jakarta khususnya, dan Indonesia umumnya. Untuk pertama kalinya, di bekas Taman Wilhelmina, kota Jakarta memiliki sebuah masjid besar. Sebuah masjid yang dimaksudkan sebagai simbol kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Padanan katanya dalam bahasa Arab berarti merdeka dan disepakati diberi nama Istiqlal sehingga jadilah Masjid Istiqlal namanya.

Tanggal yang bertepatan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW itu, dipilih sebagai momen pemancangan tiang pertama oleh Presiden Soekarno yang ketika itu langsung bertindak sebagai Kepala Bidang Teknik.